KENDARI, BKK – Wakil Dekan II Fakkultas
Hukum Universitas Halu Oleo (UHO), Herman SH LLM melakukan klarifikasi
atas berita soal focus group discussion (FGD) pembahasan rancangan
peraturan daerah (raperda) sebagaimana diberitakan koran ini, Jumat
(12/6).
Herman menegaskan, dia bukanlah ketua
tim ahli dalam perancangan raperda tersebut, tetapi hanya sebatas dosen
Fakultas Hukum yang diperintahkan atasannya untuk tampil
mempersentasekan naskah yang dibuat tim.
“Saya bukan ketua tim, juga bukan
anggota tim penyusun raperda itu. Saya hanya kebetulan diperintahkan
atasan untuk tampil mempersentasekan naskah yang sudah dibuat oleh
rekan-rekanya. Saya tidak tahu menahu isi dari naskah raperda itu,” kata
Herman melalui telepon selulernya kepada BKK, Jumat (12/6).
Herman mengaku dirugikan dengan berita
yang menyebutkan ketua tim ahli hukum dan mempersentasekan dokumen
raperda yang diduga plagiat.
“Kasian nama baik saya, padahal saya
juga punya banyak relasi dengan pemerintah daerah (pemda), yang mengira
saya melakukan plagiat. Makanya saya ingin mengklarifikasinya,”
tegasnya.
Namun soal materi raperda yang
dipersentasekannya, Herman menyatakan tidak bisa dikatakan plagiat,
karena menurutnya itu masih sebatas FGD dimana bisa menampilkan materi
perda yang telah diberlakukan di daerah lain sebagai bahan perbandingan.
“Itu kan masih FGD. Kita menjaring
pendapat sehingga wajar saja menampilkan perda dari daerah lain yang
sejenis sebagai perbandingan. Kita tidak copy paste tapi memasukan
sebagain dari perda yang sudah berlaku di daerah kalimantan sebagai
masukan,” bantahnya.
Dia mencontohkan, dalam naskah raperda
yang disusun dimasukan soal tanah adat suku Dayak sebagai pembanding
apakah model seperti itu ada di Sultra atau tidak.
Menurutnya soal tanah adat ini terjadi
pertentangan antara DPRD dengan pihak BPN, dimana pihak BPN menyatakan
tidak ada status tanah adat di Sultra. Namun pihak DPRD malah ingin
memasukan karena pernah menerima aspirasi soal kasus tanah adat.
Bukan saja itu, katanya, megenai judul
pun ada pertentangan yakni apakah menggunakan judul “Tata Niaga
Perkebunan Kelapa Sawit dan Pengelolaan Limbah Bernilai Ekonomis” atau
tidak.
Herman menyatakan, FGD raperda di DPRD
Sultra patut diapresiasi, karena dibanding di daerah lain khususnya di
kabupaten-kabupaten tak ada forum seperti itu untuk melahirkan sebuah
perda.
Seperti diberitakan sebelumnya, tim ahli
yang merancang perda DPRD Sultra diduga telah melakukan plagiat karena
saat FGD digelar ditemukan dokumen naskah akademik menyodorkan yang sama
dengan naskah perda di daerah lain atau dikenal dengan istilah copy
paste.
FGD tersebut di gedung DPRD itu membahas
tentang dua raperda yakni Tata Niaga Perkebunan Kelapa Sawit dan
Pengelolaan Limbah Bernilai Ekonomis.
Kepala Bidang Pendataan Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sultra Asrafil
mengungkapkan protesnya terhadap rancangan yang diusulkan oleh tim ahli
hukum UHO.
Menurut Asrafil, patut dipertanyakan
kualitas para akademisi ini bila melakukan kopi paste. Pasalnya, raperda
yang sedianya akan dijadikan perda tata niaga perkebunan kelapa sawit
ini terselip tulisan suku Dayak.
“Kalau dia copy paste, berarti semua
copy paste (raperda) ini. Masa ada suku Dayak di dalamnya. Memang ini
suku Dayak atau Sultra. Itu tidak cocok diberlakukan di sini,” terang
Asrafil.
Sumber : http://beritakotakendari.com/2015/06/dosen-hukum-uho-klarifikasi-soal-raperda
Sumber : http://beritakotakendari.com/2015/06/dosen-hukum-uho-klarifikasi-soal-raperda
No comments:
Post a Comment