BAB I
PENDAHULUAN
A.
Sejarah Hukum Acara Perdata dan Peradilan di
Indonesia
1.
Zaman Hindia
Belanda (1848-1942)
2.
Zaman Jepang
(1942-1945)
3.
Zaman RIS (1945
dan 1949 dan 1950)
4.
Periode
1950-1959
5.
Periode 5 Juli
1959 s/d 11 Maret 1966 dan sesudah 11 Maret 1966
1.
Badan Peradilan Zaman Hindia Belanda
Menurut
SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
a. Peradilan Gubernemen
b. Peradilan Pribumi
c. Peradilan Swapraja
d. Peradilan Agama
e. Peradilan Desa
PERADILAN
GUBERNEMEN
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang
dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan
berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.
Peradilan Gubernemen ini terdiri
dari :
a. Peradilan Gubernemen Bumiputera
1. Districtsgerecht (Pengadilan
Kewedanan)
2. Regentshapsgerecht (Pengadilan
Kabupaten)
§ Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama
untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak
dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana,
Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur
Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan
orang Indonesia.
§ Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai
kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan
terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan
beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan
atau denda paling banyak 500 rupiah”
3. Raad Van Justitie
4. Hooggerechtshof
b. Peradilan Gubernemen Eropa dan yang
dipersamakan
·
Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
·
Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.
·
Raad
Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang
dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan
Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang
terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada
Hooggerechtshof.
·
Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.
2.
Zaman Jepang
- UU No.1 tahun 1942 yang menentukan “bahwa untuk sementara waktu segala UU dan peraturan dari pemerintah Hindia Belanda dahulu terus berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan balatentara Jepang”
- Tidak ada perubahan dalam hukum materill, hanya perubahan penyederhanaan sistem peradilan dengan sistem hakim tunggal, menjadi : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja, Peradilan Adat dan Peradilan Militer.
Badan Peradilan Zaman Jepang
1)
Gunsei
Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia
Belanda.
2)
Semua
Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang
dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
§ Landraad menjadi Tihoo Hooin
(Pengadilan Negeri)
§ Landgerecht menjadi Keizai Hooin
(Hakim Kepolisian)
§ Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin
(Pengadilan Kabupaten)
§ Districtsgerecht menjadi Gun Hooin
(Pengadilan Kewedanan)
§ Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1942
(Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b. Saikoo Hooin (Pengadilan Agung),
akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942 ditentukan bahwa apel kepada
dua badan pengadilan tersebut untuk sementara waktu tidak diperkenankan.
3. Periode
RIS
·
UU
No. 7 tahun 1947 tentang susunan keluasaan MA dan Kejaksaan Agung
·
UU
No.20 tahun 1947 tentang Banding di jawa-madura,dan RBg diluar Jawa-madura
·
4
lingkungan peradilan ; umum, agama, adat dan militer
4. Periode
1950-1959
·
Menghapus
pengadilan khusus,hanya meninggalkan PN yang berkuasa pada tingkat pertama
memeriksa,mengadili
·
UU
No.1 tahun 1951 ttg susunan peradilan umum, yaitu PN, PT dan MA
5. Periode
5 Juli 1959- 11 Maret 1966
·
UU
No.19/1964 ttg Ket.Pokok kekuasaan kehakiman
·
UU
No.13 tahun 1965 ttg Pengadilan dalam Peradilan Umum
·
4
lingkungan peradilan, yaitu : Peradilan umum,peradilan agama, peradilan
militer, peradilan TUN
·
Namun
kedua UU tsb memberikan eksekutif dapat intervensi
perkara,pengadilan,peradilan, bertentangan dengan UUD’45
·
Orde
baru, Digantikan dgn UU No.14 tahun 1970 ttg Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU
No.2 tahun Peradilan Umum.
·
Belum
ada HaPdt yg berlaku secara Universal,seperti HaPidana (UU No.8/1981)
B.
Sumber Hukum Acara Perdata
·
HIR (Herziene
Indonesische Reglement) di dalam Stb.1941 : 44 Pasal 118-245, berlaku bagi
Gol. Bumiputera daerah Jawa & Madura
·
RBg (Rechtsreglement
voor de Buitenwesten) di dalam Stb.1927 : 227 Pasal 142-314, berlaku bagi
Gol. Bumiputera daerah luar Jawa & Madura
·
BRv (Reglement
opde Burgerlijke Rechtvordering) di dalam Stb.1847 : 52, berlaku bagi Gol.Eropa
& yang dipersamakan. Sekarang sebagai Pedoman.
·
UU Kekuasaan
Kehakiman, 48 tahun 2009
·
UU Mahkamah
Agung, 5 tahun 2004
·
UU No.2 tahun
1986 ttg Peradilan Umum jo UU No.8 tahun 2004 jo UU No.49 tahun 2009 ttg
Perubahan kedua UU No.2 tahun 1986 ttg Peradilan Umum
·
SEMA
·
Jurispurdensi
1.
Sejarah
Singkat Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
Untuk mengatahui Sejarah Hukum Acara
Perdata yang berlaku di Indonesia, maka sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum
Acara Perdata yang berlaku hingga saekarang belumlah terhimpun dalam sebuah
kodifikasi. Herziene Ilandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum
Acara Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara
kita hingga kini. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari
Inlandsch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera, yang termuat dalam Stb.
1848 Nomor 16 dengan judul (selengkapnya) "Reglement op de uit oefening
van de politie de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de
Wanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura" (Reglement tentang
pelaksanaan tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan perkara
pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Inlandsch Reglement selanjutnya
disingkat IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16)
merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President Hoogge¬rechtshof
(Ketua Pengadilan Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia.
Beliau adalah seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu. Dasar wewenang
Mr. Wichers membuat rancangan IR tersebut adalah Surat Keputusan Gubernur
Jenderal J.J. Rochussen tanggal 5 Desember 1846 Nomor 3 yang memberikan tugas
kepadanya untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang administrasi,
polisi, dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan Bumi-putera.
Pada waktu itu peraturan Hukum Acara
Perdata yang dipakai oleh peng¬adilan yang berwenang mengadili golongan
Bumiputera dalam perkara perdata adalah peraturan Hukum Acara Perdata yang
termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang hanya memuat 7 (tujuh) pasal tentang
acara perdata. Dalam menyusun rancangan IR, Wichers mempelajari lebih dahulu
terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan rencana tahun 1841 yang pernah
dibuatnya atas dasar reglement 1819, di mana pada akhir-7 nya ia berpendapat
bahwa keduanya (reglement tahun 1819 dan rancang¬an tahun 1841 tersebut) tidak
dapat dijadikan dasar untuk menyusun reglement yang akan dikerjakannya.
Dalam waktu yang relatif singkat,
belum sampai 1 (satu) tahun tepatnya tanggal 6 Agustus 1847 Mr. Wichers telah
berhasil membuat sebuah rencana per¬aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, yang
terdiri dari 432 (empat ratus tiga puluh dua) pasal lengkap dengan
penjelasan-penjelasannya. Rencana Wichers ini disambut berlainan oleh
pihak-pihak yang diminta¬kan pertimbangannya. Ada yang tidak setuju seperti Mr.
Hultman yang berpendapat bahwa rencana itu sangat berliku-liku dan terlalu mengikat
sehingga perlu disederhanakan. Akan tetapi, keberatan Hultman tidak dapat
diterima oleh Hooggerechtshof. Pengadilan Tertinggi ini menilai rencana Wichers
itu sebagai suatu kemajuan dibandingkan dengan peraturan tahun 1819. Kemudian,
2 (dua) orang dari Hooggerechtshof menghendaki supaya rencana itu dilengkapi
dengan peraturan tentang vrijwaring, voeging, tussenkomst, reconventie, request
civiel, dan sebagai¬nya seperti halnya dengan Hukum Acara Perdata untuk
golongan Eropa yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
yang sering disingkat dengan Rv atau BRv. Namun, Wichers tidak bersedia untuk
mengubah rencananya dengan usul-usul tambahan tersebut, dengan alasan, kalau
orang sudah mulai menambah berbagai ketentuan terhadap rencana tersebut,
akhirnya akan tidak terang lagi sampai di mana batasnya yang dianggap perlu
atau patut ditambahkan itu. Jika demikian, kata Wichers, lebih baik
memberlakukan saja hukum acara untuk golongan Eropa terhadap golongan
Bumiputera.
Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pem¬batasan. Sesuai dengan itu ia memuat suatu ketentuan penutup yang ber¬sifat umum. Ketentuan mana setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR, yaitu Pasal 393 yang berbunyi sebagai berikut:
Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pem¬batasan. Sesuai dengan itu ia memuat suatu ketentuan penutup yang ber¬sifat umum. Ketentuan mana setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR, yaitu Pasal 393 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam hal mengadili di muka
pengadilan bagi golongan Bumi¬putera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara
yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam reglement ini.
2. Namun demikian, Gubernur Jenderal berhak,
apabila ber¬dasarkan pengalaman ternyata bahwa dalam hal yang demi¬kian itu
sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk
pengadilan-pengadilan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya dan lain-lain
pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan
lain¬nya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi pengadilan-pengadilan
Eropa.
Akhirnya rancangan Wichers diterima
oleh Gubernur Jenderal dan di¬umumkan pada tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848
Nomor 16) dengan sebut¬an Reglement op de luit oefening van de politie, de
Burgerlijke rechts¬pleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de
Vreemde Ooster¬tingen of Java en Madura, yang sering disingkat dengan lnlandsch
Regle¬ment (IR), yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal I Mei 1848. IR ini
kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849
Nomor 93 yang diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63; dan oleh karena dengan
pengesahan ini sifat IR menjadi Koninklijk Besluit. Sejak diumumkan pertama
kali tanggal 5 April 1848, IR telah mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1926 (Stb. 1929 Nomor 559 jo. Pasal
496). Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1941 (Stb. 1941 Nomor 44) yang
dikatakan sebagai perubahan yang memperbaharui (Herziene) terhadap Inlandsch
Reglement, sehingga sejak itulah IR berubah menjadi HIR singkatan dari Herziene
Inlandsch Reglement yang berarti Reglement Indonesia yang diperbaharui (yang
sering pula disingkat RIB). Sekadar untuk diketahui, bahwa pembaharuan yang
dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941 itu sebetulnya hanya
dilakukan terhadap acara pidana saja, yaitu mengenai pembentukan aparatur
Kejaksaan atau Penuntut Umum (Openbaar Ministerie) yang berdiri sendiri, di
mana anggota-anggotanya para jaksa yang dulu ditempatkan di bawah pamong praja
diubah menjadi di bawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung. Perubahan IR pada tahun
1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.
2.
Sejarah
Singkat Rechtsreglement voor de Buiten-gewesten (RBg)
RBg adalah singkatan dari
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberarang) yang
merupakan singkatan pula dari "Reglement tot Regeling van het Rechtswezen
in de Qewesten buiten Java en Madura", suatu ordonansi yang dibuat
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1927 (Stb. 1927 Nomor 227)
yang seluruh¬nya terdiri dari 8 (delapan) pasal. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda sendiri mempunyai wewenang untuk membuat peraturan Hukum Acara Perdata
bagi daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura ini berdasarkan Koninklijk
Besluit tanggal 4 Januari 1927 Nomor 53.
RBg yang dinyatakan Pasal VIII
ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli
1927, merupakan pengganti peraturan-peraturan Hukum Acara Perdata yang lama
yang tersebar dan berlaku bagi daerah-daerah tertentu saja. Yaitu
ordonansi-ordonansi bagi daerah-daerah Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi,
Sumatra Timur, Aceh, Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur, Manado, Sulawesi, Ambon, Ternate, Timor, Bali, dan
Lombok (Pasal I ordonansi).
Meskipun pada saat ordonansi tanggal
11 Mei 1927 Nomor 227 itu di¬undangkan, masih ada beberapa peraturan lama yang
dinyatakan tetap berlaku bagi daerah tertentu seperti bagi daerah Gorontalo
(Pasal IV ordonansi). Kecuali itu masih ada beberapa daerah yang dikecualikan
dari berlakunya RBg, seperti daerah Irian Barat bagian selatan (Pasal III
ordonansi),
RBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada HIR dan pasal-pasal Stb. 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV tentang pembuktian. Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan dengan pasal-pasal HIR dan BW, akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa pasal saja yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan khusus daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
RBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada HIR dan pasal-pasal Stb. 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV tentang pembuktian. Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan dengan pasal-pasal HIR dan BW, akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa pasal saja yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan khusus daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
Pada zaman pendudukan Jepan di
Indonesia, Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada tanggal 7 Maret 1942 telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku untuk Pulau Jawa dan
Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan:
"Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer. "
"Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer. "
Dengan adanya undang-undang ini maka
HIR pada zaman Jepang masih tetap berlaku di Indonesia. Untuk daerah-daerah di
luar Pulau Jawa dan Madura, ada badan-badan kekuasaan lain selain Balatentara
Dai Nippon, yang tindakan-tindakannya tentang hal ini boleh dikatakan sama.
Dengan demikian, pada zaman Jepang, RBg juga masih tetap berlaku di Indonesia.
Kemudian, HIR dan RBg masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka (1945) dan
terus berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949, dan Undang¬Undang Dasar Sementara 1950.
Sejarah HIR dan RBg di atas menunjukkan, kedua hukum acara pening¬galan
kolonial Hindia Belanda itu usianya sudah sangat tua, Iebih dari satu setengah
abad.
HIR yang berasal dari IR yang mulai
berlaku sejak 1 Mei 1848, yang kemudian ditiru dalam menyusun RBg yang berlaku
sejak 1 Juli 1927, tentu saja disusun sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia masa itu, yang sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis,
sehingga bentuk-¬bentuk acaranya sangat sederhana dan tidak formalistis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian-rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Putusan
hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan
hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik
untuk membahas dalam makalah ini.
Prof.Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH
Ø
Hukum
Acara Perdata adalah
·
kumpulan
aturan-aturan hukum
·
yang
mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materil
·
dengan
perantara hakim
Perbedaan :
a.
H.Acara
Pidana : hak yang dilanggar bersangkutan dengan kepentingan umum
b. H.Acara Perdata : hak yang
dilanggar bersangkutan dengan kepentingan pribadi
Perlindungan
hukum yang diberikan Pengadilan untuk mencegah eigenrichting
a.
Tuntutan
hak yang mengandung sengketa à Gugatan, sekurang-kurangnya dua
pihak
b.
Tuntutan
hak yang tidak mengandung sengketa à Permohonan, hanya satu pihak
saja
c. Timbulnya perkara perdata karena
inisiatif pihak penggugat, bukan inisiatif hakim.
B.
Persidangan Perdata
1.
Tuntutan hak
tidak mengandung sengketa /peradilan tidak sesungguhnya (Voluntaire
Jurisdictie).
Ciri-ciri :
·
Mengadili
perkara tidak mengandung konflik atau sengketa, melainkan tuntutan hak berupa
permohonan
·
Hanya terdapat
satu pihak, tanpa lawan
·
Produk
pengadilan berupa Penetapan (Bechikking) atau putusan
menerangkan,menetapkan (declaratoir)
·
Penetapan
mempunyai kekuatan hukum mengikat pada diri pemohon sendiri dan pihak ketiga
·
Penetapan tidak
memerlukan pertimbangan atau alasan
·
Aturan BW buku
ke IV tidak berlaku
·
Contohnya ;
penetapan wali hakim, ahli waris, permohonan kewarganegaraan, pengangkatan
anak, penetapan pengampuan
2.
Tuntutan hak
yang mengandung sengketa/peradilan sesungguhnya (Contentiuese Jurisdictie).
Ciri-ciri :
·
Sekurang-kurang
nya dua pihak yang bersengketa (Penggugat-Tergugat),
·
tuntutan hak
dalam bentuk gugatan
·
Produk
pengadilan diakhiri dengan putusan (vonnis)
·
Putusan mengikat
para pihak yang bersengketa saja
·
Putusan harus
mempunyai alasan yang kuat dan tepat
·
Buku ke IV BW
berlaku
·
Contoh nya :
sengketa hak atas tanah, sengketa HAKI, sengketa ganti kerugian
C.
Asas-asas dalam HAPdt (UU No. 4 tahun 2004)
a.
Peradilan
dilakukan “demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa”. Pada kepala
Putusan hakim.
·
Fungsinya :
memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim.
·
Kekuatan
eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam
putusan itu secara paksa oleh alat negara.
b.
Peradilan
dilakukan dengan :
·
“sederhana”,
mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
·
“cepat”,
tidak banyak formalitas
·
“biaya ringan”,
terjangkau oleh rakyat.
D.
Asas Hakim Majelis, sekurang-kurangnya 3 orang
hakim.
·
Maksud &
tujuannya untuk menjamin pemeriksaan yang seobjektif nya dan memberikan
perlindungan HAM di bidang peradilan
·
Namun dalam
prakteknya dapat ditemui pemeriksaan dengan hakim tunggal (Unus Judex)
untuk mempercepat jalannya proses. Contoh : putusan declaratoir, pelanggaran
lalu lintas.
E.
Hakim harus mendengarkan kedua pihak (Audi et
Alteram Partem)
·
Hakim tidak
memihak, para pihak diperlakukan sama
F.
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang
·
Artinya setiap
orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan
·
Tujuan asas ini
adalah menjamin objektifitas peradilan, sebagai social control oleh
masyarakat
·
Akan tetapi pada
pembacaan putusan harus dalam sidang yang terbuka untuk umum, apabila putusan
diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan
tersebut tidak sah, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengakibatkan batalnya
putusan menurut hokum.
G.
SURAT
EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri
Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No.
3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di
seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak
berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
- Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
- Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
- Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
- Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
- Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
- Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
- Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Zainul
Rijal Abu Bakar - dipetik dari Berita Harian
Soekanto,
Soerjono. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Alumni, 1983.
Soepomo. Sistem
Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1991.
www.etnishukum.blogspot.com
No comments:
Post a Comment