Sunday 16 September 2012

Sejarah Hukum Acara Perdata


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Sejarah Hukum Acara Perdata dan Peradilan di Indonesia
1.      Zaman Hindia Belanda (1848-1942)
2.      Zaman Jepang (1942-1945)
3.      Zaman RIS (1945 dan 1949 dan 1950)
4.      Periode 1950-1959
5.      Periode 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 dan sesudah 11 Maret 1966

1.      Badan Peradilan Zaman Hindia Belanda
Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
a.       Peradilan Gubernemen
b.      Peradilan Pribumi
c.       Peradilan Swapraja
d.      Peradilan Agama
e.       Peradilan Desa
PERADILAN GUBERNEMEN
      Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.
Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
a.       Peradilan Gubernemen Bumiputera
1.      Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
2.      Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
§  Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.
§   Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap “semua pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 500 rupiah”
3.      Raad Van Justitie
4.      Hooggerechtshof
b.      Peradilan Gubernemen Eropa dan yang dipersamakan
·         Residentiegerecht
Keadaan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara perdata bagi orang Eropa dan yang dipersamakan.
·         Landgerecht
Kedudukan hukumnya di tiap-tiap kota yang ada Landraadnya. Kewenangannya adalah mengadili perkara bagi orang Eropa.
·         Raad Van Justitie
Berkedudukan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Merupakan pengadilan Tingkat Pertama untuk orang Eropa dan Tionghoa untuk perkara perdata dan pidana. Putusan Raad Van Justitie sepanjang terdakwa tidak dibebaskan dari segala tuntutan, dapat dimintakan revisi kepada Hooggerechtshof.
·         Hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta, dan daerah hukumnya meliputi seluruh Hindia Belanda.





2.      Zaman Jepang
  • UU No.1 tahun 1942 yang menentukan “bahwa untuk sementara waktu segala UU dan peraturan dari pemerintah Hindia Belanda dahulu terus berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan balatentara Jepang
  • Tidak ada perubahan dalam hukum materill, hanya perubahan penyederhanaan sistem peradilan dengan sistem hakim tunggal, menjadi : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja, Peradilan Adat dan Peradilan Militer.
Badan Peradilan Zaman Jepang
1)      Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda.
2)      Semua Badan Pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht yang dihapus berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942 diganti namanya :
§  Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
§  Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
§  Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
§  Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
§  Berdasarkan UU No. 34 Tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3 ) dibentuk :
a.       Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
b.      Saikoo Hooin (Pengadilan Agung), akan tetapi di dalam Pasal 14 UU No. 34 Tahun 1942 ditentukan bahwa apel kepada dua badan pengadilan tersebut untuk sementara waktu tidak diperkenankan.
3.      Periode RIS
·         UU No. 7 tahun 1947 tentang susunan keluasaan MA dan Kejaksaan Agung
·         UU No.20 tahun 1947 tentang Banding di jawa-madura,dan RBg diluar Jawa-madura
·         4 lingkungan peradilan ; umum, agama, adat dan militer
4.      Periode 1950-1959
·         Menghapus pengadilan khusus,hanya meninggalkan PN yang berkuasa pada tingkat pertama memeriksa,mengadili
·         UU No.1 tahun 1951 ttg susunan peradilan umum, yaitu PN, PT dan MA
5.      Periode 5 Juli 1959- 11 Maret 1966
·         UU No.19/1964 ttg Ket.Pokok kekuasaan kehakiman
·         UU No.13 tahun 1965 ttg Pengadilan dalam Peradilan Umum
·         4 lingkungan peradilan, yaitu : Peradilan umum,peradilan agama, peradilan militer, peradilan TUN
·         Namun kedua UU tsb memberikan eksekutif dapat intervensi perkara,pengadilan,peradilan, bertentangan dengan UUD’45
·         Orde baru, Digantikan dgn UU No.14 tahun 1970 ttg Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No.2 tahun Peradilan Umum.
·         Belum ada HaPdt yg berlaku secara Universal,seperti HaPidana (UU No.8/1981)

B.     Sumber Hukum Acara Perdata
·         HIR (Herziene Indonesische Reglement) di dalam Stb.1941 : 44 Pasal 118-245, berlaku bagi Gol. Bumiputera daerah Jawa & Madura
·         RBg (Rechtsreglement voor de Buitenwesten) di dalam Stb.1927 : 227 Pasal 142-314, berlaku bagi Gol. Bumiputera daerah luar Jawa & Madura
·         BRv (Reglement opde Burgerlijke Rechtvordering) di dalam Stb.1847 : 52, berlaku bagi Gol.Eropa & yang dipersamakan. Sekarang sebagai Pedoman.
·         UU Kekuasaan Kehakiman, 48 tahun 2009
·         UU Mahkamah Agung, 5 tahun 2004
·         UU No.2 tahun 1986 ttg Peradilan Umum jo UU No.8 tahun 2004 jo UU No.49 tahun 2009 ttg Perubahan kedua UU No.2 tahun 1986 ttg Peradilan Umum
·         SEMA
·         Jurispurdensi
1.      Sejarah Singkat Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
Untuk mengatahui Sejarah Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, maka sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku hingga saekarang belumlah terhimpun dalam sebuah kodifikasi. Herziene Ilandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum Acara Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara kita hingga kini. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari Inlandsch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera, yang termuat dalam Stb. 1848 Nomor 16 dengan judul (selengkapnya) "Reglement op de uit oefening van de politie de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de Wanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura" (Reglement tentang pelaksanaan tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Inlandsch Reglement selanjutnya disingkat IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President Hoogge¬rechtshof (Ketua Pengadilan Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia. Beliau adalah seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu. Dasar wewenang Mr. Wichers membuat rancangan IR tersebut adalah Surat Keputusan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen tanggal 5 Desember 1846 Nomor 3 yang memberikan tugas kepadanya untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan Bumi-putera.
Pada waktu itu peraturan Hukum Acara Perdata yang dipakai oleh peng¬adilan yang berwenang mengadili golongan Bumiputera dalam perkara perdata adalah peraturan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang hanya memuat 7 (tujuh) pasal tentang acara perdata. Dalam menyusun rancangan IR, Wichers mempelajari lebih dahulu terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan rencana tahun 1841 yang pernah dibuatnya atas dasar reglement 1819, di mana pada akhir-7 nya ia berpendapat bahwa keduanya (reglement tahun 1819 dan rancang¬an tahun 1841 tersebut) tidak dapat dijadikan dasar untuk menyusun reglement yang akan dikerjakannya.
Dalam waktu yang relatif singkat, belum sampai 1 (satu) tahun tepatnya tanggal 6 Agustus 1847 Mr. Wichers telah berhasil membuat sebuah rencana per¬aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, yang terdiri dari 432 (empat ratus tiga puluh dua) pasal lengkap dengan penjelasan-penjelasannya. Rencana Wichers ini disambut berlainan oleh pihak-pihak yang diminta¬kan pertimbangannya. Ada yang tidak setuju seperti Mr. Hultman yang berpendapat bahwa rencana itu sangat berliku-liku dan terlalu mengikat sehingga perlu disederhanakan. Akan tetapi, keberatan Hultman tidak dapat diterima oleh Hooggerechtshof. Pengadilan Tertinggi ini menilai rencana Wichers itu sebagai suatu kemajuan dibandingkan dengan peraturan tahun 1819. Kemudian, 2 (dua) orang dari Hooggerechtshof menghendaki supaya rencana itu dilengkapi dengan peraturan tentang vrijwaring, voeging, tussenkomst, reconventie, request civiel, dan sebagai¬nya seperti halnya dengan Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang sering disingkat dengan Rv atau BRv. Namun, Wichers tidak bersedia untuk mengubah rencananya dengan usul-usul tambahan tersebut, dengan alasan, kalau orang sudah mulai menambah berbagai ketentuan terhadap rencana tersebut, akhirnya akan tidak terang lagi sampai di mana batasnya yang dianggap perlu atau patut ditambahkan itu. Jika demikian, kata Wichers, lebih baik memberlakukan saja hukum acara untuk golongan Eropa terhadap golongan Bumiputera.
Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pem¬batasan. Sesuai dengan itu ia memuat suatu ketentuan penutup yang ber¬sifat umum. Ketentuan mana setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR, yaitu Pasal 393 yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Dalam hal mengadili di muka pengadilan bagi golongan Bumi¬putera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam reglement ini.
2.       Namun demikian, Gubernur Jenderal berhak, apabila ber¬dasarkan pengalaman ternyata bahwa dalam hal yang demi¬kian itu sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk pengadilan-pengadilan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya dan lain-lain pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan lain¬nya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi pengadilan-pengadilan Eropa.
Akhirnya rancangan Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal dan di¬umumkan pada tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) dengan sebut¬an Reglement op de luit oefening van de politie, de Burgerlijke rechts¬pleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Ooster¬tingen of Java en Madura, yang sering disingkat dengan lnlandsch Regle¬ment (IR), yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal I Mei 1848. IR ini kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93 yang diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63; dan oleh karena dengan pengesahan ini sifat IR menjadi Koninklijk Besluit. Sejak diumumkan pertama kali tanggal 5 April 1848, IR telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1926 (Stb. 1929 Nomor 559 jo. Pasal 496). Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1941 (Stb. 1941 Nomor 44) yang dikatakan sebagai perubahan yang memperbaharui (Herziene) terhadap Inlandsch Reglement, sehingga sejak itulah IR berubah menjadi HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement yang berarti Reglement Indonesia yang diperbaharui (yang sering pula disingkat RIB). Sekadar untuk diketahui, bahwa pembaharuan yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941 itu sebetulnya hanya dilakukan terhadap acara pidana saja, yaitu mengenai pembentukan aparatur Kejaksaan atau Penuntut Umum (Openbaar Ministerie) yang berdiri sendiri, di mana anggota-anggotanya para jaksa yang dulu ditempatkan di bawah pamong praja diubah menjadi di bawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung. Perubahan IR pada tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.
2.      Sejarah Singkat Rechtsreglement voor de Buiten-gewesten (RBg)
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberarang) yang merupakan singkatan pula dari "Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Qewesten buiten Java en Madura", suatu ordonansi yang dibuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1927 (Stb. 1927 Nomor 227) yang seluruh¬nya terdiri dari 8 (delapan) pasal. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri mempunyai wewenang untuk membuat peraturan Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura ini berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 4 Januari 1927 Nomor 53.
RBg yang dinyatakan Pasal VIII ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927, merupakan pengganti peraturan-peraturan Hukum Acara Perdata yang lama yang tersebar dan berlaku bagi daerah-daerah tertentu saja. Yaitu ordonansi-ordonansi bagi daerah-daerah Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatra Timur, Aceh, Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Manado, Sulawesi, Ambon, Ternate, Timor, Bali, dan Lombok (Pasal I ordonansi).
Meskipun pada saat ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 itu di¬undangkan, masih ada beberapa peraturan lama yang dinyatakan tetap berlaku bagi daerah tertentu seperti bagi daerah Gorontalo (Pasal IV ordonansi). Kecuali itu masih ada beberapa daerah yang dikecualikan dari berlakunya RBg, seperti daerah Irian Barat bagian selatan (Pasal III ordonansi),
RBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada HIR dan pasal-pasal Stb. 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV tentang pembuktian. Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan dengan pasal-pasal HIR dan BW, akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa pasal saja yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan khusus daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
Pada zaman pendudukan Jepan di Indonesia, Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada tanggal 7 Maret 1942 telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan:
"Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer. "
Dengan adanya undang-undang ini maka HIR pada zaman Jepang masih tetap berlaku di Indonesia. Untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura, ada badan-badan kekuasaan lain selain Balatentara Dai Nippon, yang tindakan-tindakannya tentang hal ini boleh dikatakan sama. Dengan demikian, pada zaman Jepang, RBg juga masih tetap berlaku di Indonesia. Kemudian, HIR dan RBg masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka (1945) dan terus berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949, dan Undang¬Undang Dasar Sementara 1950. Sejarah HIR dan RBg di atas menunjukkan, kedua hukum acara pening¬galan kolonial Hindia Belanda itu usianya sudah sangat tua, Iebih dari satu setengah abad.
HIR yang berasal dari IR yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848, yang kemudian ditiru dalam menyusun RBg yang berlaku sejak 1 Juli 1927, tentu saja disusun sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia masa itu, yang sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis, sehingga bentuk-¬bentuk acaranya sangat sederhana dan tidak formalistis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Acara Perdata
      Hukum Acara Perdata adalah rangkaian-rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Putusan hakim merupakan bagian dari hukum acara perdata yang meliputi arti putusan hakim, susunan, macam-macam dan putusan oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas dalam makalah ini.

Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo, SH
Ø  Hukum Acara Perdata adalah
·         kumpulan aturan-aturan hukum
·         yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materil
·         dengan perantara hakim
Perbedaan :
a.       H.Acara Pidana : hak yang dilanggar bersangkutan dengan kepentingan umum
b.      H.Acara Perdata : hak yang dilanggar bersangkutan dengan kepentingan pribadi
Perlindungan hukum yang diberikan Pengadilan untuk mencegah eigenrichting
a.       Tuntutan hak yang mengandung sengketa à Gugatan, sekurang-kurangnya dua pihak
b.      Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa à Permohonan, hanya satu pihak saja
c.       Timbulnya perkara perdata karena inisiatif pihak penggugat, bukan inisiatif hakim.
B.     Persidangan Perdata
1.      Tuntutan hak tidak mengandung sengketa /peradilan tidak sesungguhnya (Voluntaire Jurisdictie).
Ciri-ciri :
·         Mengadili perkara tidak mengandung konflik atau sengketa, melainkan tuntutan hak berupa permohonan
·         Hanya terdapat satu pihak, tanpa lawan
·         Produk pengadilan berupa Penetapan (Bechikking) atau putusan menerangkan,menetapkan (declaratoir)
·         Penetapan mempunyai kekuatan hukum mengikat pada diri pemohon sendiri dan pihak ketiga
·         Penetapan tidak memerlukan pertimbangan atau alasan
·         Aturan BW buku ke IV tidak berlaku
·         Contohnya ; penetapan wali hakim, ahli waris, permohonan kewarganegaraan, pengangkatan anak, penetapan pengampuan
2.      Tuntutan hak yang mengandung sengketa/peradilan sesungguhnya (Contentiuese Jurisdictie).
Ciri-ciri :
·         Sekurang-kurang nya dua pihak yang bersengketa (Penggugat-Tergugat),
·         tuntutan hak dalam bentuk gugatan
·         Produk pengadilan diakhiri dengan putusan (vonnis)
·         Putusan mengikat para pihak yang bersengketa saja
·         Putusan harus mempunyai alasan yang kuat dan tepat
·         Buku ke IV BW berlaku
·         Contoh nya : sengketa hak atas tanah, sengketa HAKI, sengketa ganti kerugian
C.    Asas-asas dalam HAPdt (UU No. 4 tahun 2004)
a.       Peradilan dilakukan “demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa”. Pada kepala Putusan hakim.
·         Fungsinya : memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim.
·         Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat negara.
b.      Peradilan dilakukan dengan :
·         sederhana”, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
·         cepat”, tidak banyak formalitas
·         biaya ringan”, terjangkau oleh rakyat.

D.    Asas Hakim Majelis, sekurang-kurangnya 3 orang hakim.
·         Maksud & tujuannya untuk menjamin pemeriksaan yang seobjektif nya dan memberikan perlindungan HAM di bidang peradilan
·         Namun dalam prakteknya dapat ditemui pemeriksaan dengan hakim tunggal (Unus Judex) untuk mempercepat jalannya proses. Contoh : putusan declaratoir, pelanggaran lalu lintas.
E.     Hakim harus mendengarkan kedua pihak (Audi et Alteram Partem)
·         Hakim tidak memihak, para pihak diperlakukan sama
F.     Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang
·         Artinya setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan
·         Tujuan asas ini adalah menjamin objektifitas peradilan, sebagai social control oleh masyarakat
·         Akan tetapi pada pembacaan putusan harus dalam sidang yang terbuka untuk umum, apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan tersebut tidak sah, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengakibatkan batalnya putusan menurut hokum.

G.    SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
      Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan  Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
  1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
  2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
  3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
  4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
  5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu  perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
  6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi  antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
  7. Pasal  1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.







DAFTAR PUSTAKA


Zainul Rijal Abu Bakar - dipetik dari Berita Harian


Soekanto, Soerjono. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Alumni, 1983.

Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.
www.etnishukum.blogspot.com

Like Page Ini Yaaahhh