Monday 26 September 2011

Undang-undang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseoarangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, , maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
  1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
  2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat  memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
  1. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
  2. Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
  3. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
  1. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a.       pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.      pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.       pekerja/buruh menjalankan idabah yang diperintahkan agamanya;
d.      pekerja/buruh menikah;
e.       pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.       pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g.      pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.      pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.        karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.        pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
  1. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a.  pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis belumnya;
b.  pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c.  pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan, atau
d.  pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
  1. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
  2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
  3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
  1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  2. Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a.       masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.      masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.       masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun , 3 (tiga) bulan upah;
d.      masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.       masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.       masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.      masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h.      masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.        masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
  1. Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a.       masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.      masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c.       masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.      masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.       masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.       masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.      masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.      masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;
  1. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.       Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.      biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.       penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.      hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama.
  1. Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat  (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
  1. Komponen upah yang digunakan sebagai dasaar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
a.       upah pokok;
b.      segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
  1. Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebuan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
  2. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
  3. Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 158
  1. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a.       melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.      memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.       mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.      melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.       menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.       membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.      dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan  yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.      dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja  atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i.        membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara, atau
j.        melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  1. Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a.       pekerja/buruh tertangkap tangan;
b.      ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau
c.       bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
  1. Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
  2. Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
 Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
  1. Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a.       untuk 1 (satu) orang tanggungan 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b.      untuk 2 (dua) orang tanggungan 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c.       untuk 3 (tiga) orang tanggungan 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d.      untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
  1. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
  2. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
  4. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan  berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
  5. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
  6. Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
1.  Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
2.  Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3.  Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 162
1.  Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2.  Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanannnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3.  Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat :
a.  Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.  tidak terikat dalam ikatan dinas, dan
c.  tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
4.  Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
1.  Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
2.  Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
1.  Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2.  Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
3.  Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan  karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang  pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
1.  Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uamg penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2.  Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
3.  Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
4.  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
5.  Dalam hal pengusaha tidak  mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
6.  Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
1.  Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
2.  Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk kerja.
3.  Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
1.  Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a.  menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b.  membujuk dan/atau menyusuh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c.  tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d.  tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e.  memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, atau
f.  memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
2.  Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
3.  Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162 dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 158, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Saturday 24 September 2011

Hukum Keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hukum keluarga tidak lepas dari yang mananya perkawinan, karena keluarga ada dikarenakan adanya perkawinan. Kalau berbicara masalah keluarga kita juga harus tahu apa itu perkawinan, karena perkawinan ada hubungan yang sangat erat dengan keluarga. Keluarga sendiri ada dua keluarga sedarah dan keluarga karena hubungan perkawinan.
Di dalam masalah hukum keluarga terdapat tiga asas, asas perkawinan, asas putusnya perkawinan, asas harta benda dalam perkawinan. Dan ketiga asas ini dijelaskan dibawah secara singkat.
Hukum keluarga mempunyai beberapa sumber hukum, asas-asas hukum, ruang lingkup, dan hak dan kewajiban. Di bawah ini adalah penjelaan sedikit tentang apa saja yang berkaitan dengan hukum keluarga dan perkawinan.
1.2.Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari keluarga dan perkawinan ?
b. Apa syarat-syarat perkawinan ?
c. Apa saja hak dan kewajiban seorang suami dan istri dalam berumah tangga ?
1.3.Tujuan
a. Untuk mengetahui definisi dari keluarga.
b. Untuk mengetahui apa Saja yang menjadi syarat-syarat perkawinan.
c. Untuk mengetahui apa saja hak dan kewajiban seorang suami dan istri.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM KELUARGA ( FAMILIERECHT )
PENGERTIAN HUKUM KELUARGA
Pengertian Hukum Keluarga itu ada bermacam-macam diantaranya :
1. Keluarga ialah kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami istri dan anak yang berdiam dalam suatu rumah tangga.
2. Hukum keluarga ialah mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dngan kekeluargaan sedarah dan perkawinan.
3. Jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam perkawinan, pewarisan dan perwakilan dalam keluarga.
Kekeluargaan disini terdapat dua macam, yang pertama di tinjau dari hubungan darah dan yang kedua ditinjau dari hubungan perkawinan.
1. Kekeluargaan ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan sedarah ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
2. Kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari istri ( suaminya ).
SUMBER HUKUM KELUARGA
1. Sumber Hukum Keluarga tertulis:
a. Kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari undang-undang, yurisprodensi dan traktat.
b. KUHPerdata.
c. Peraturan perkawinan campuran.
d. UU No.32./1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
e. Dan lain sebagainya.
2. Sumber Hukum Keluarga yang tidak tertulis:
a. Kaidah-kaidah yang timbul, tambah dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
RUANG LINGKUP HUKUM KELUARGA
Ruang Lingkup Hukum Keluarga ini ada tiga bagian:
a. Perkawinan
b. Putusnya perkawinan
c. Harta benda dalam perkawinan
A. Perkawinan
Ialah eksistensi institusi atau melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan perempuan. Tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
ASAS-ASAS PERKAWINAN
1. Asas monogamy ( pasal 27 BW, pasal 3 UUP ) yang berbunyai:” Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami ”.
2. Undang-undang yang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata ( pasal 26 BW ) yang berbunyi:” Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan dimuka petugas kantor pencatatan sipil “.
3. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang prempuan dibidang hukum keluarga. Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri, dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah persetujuan.
4. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang.
Syarat-syarat perkawinan dibedakan menjadi 2 : syarat materiil dan syarat formil.
1. Syarat Materiil
Syarat Materil ada dua syarat Materiil Absolute dan syarat Materiil Relative.
1. Syarat Materiil Absolute ialah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus dilakukan untuk perkawinan pada umumnya. Syarat ini adalah sebagai berikut:
· Monogamy
· Persetujuan antara kedua calon suami istri.
· Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal ( pasal 29 ).
· Seorang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan ( pasal 34 ).
· Untuk kawin di perlukan izin dari sementara orang ( pasal 35-49 ).
2. Syarat Materiil Relative ialah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.ketentuan-ketentuan ini ada tiga macam:
· Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat didalam kekeluargaan, sedarah atau karena perkawinan.
· Larangan untuk kawin dengan orang yang mana orang tersebut pernah melakukan zinah.
· Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
2. Syarat Formil
Syarat ini dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan itu.
1. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan adalah:
· Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin.
· Pengumuman tentang maksud untik kawin.
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat ini diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menetukan:
· Calon suami istri harus memperlihatkan akta kelahirannya masing-masing.
· Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau didalam hal ketidak hadiran suami ( istri ) yang dahulu.
· Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung, tanpa pencegahan.
· Dispensasi untuk kawin, didalam dispensasi itu diperlukan jika ada perselisihan pendapat antara pegawai catatan sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya surat-surat yang diperlukan untuk kawin.
B. Putusnya Perkawinan
Ialah berakhirnya perkawinan yang dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh kematian, perceraian, atas putusan pengadilan. Menurut BW juga disebabkan tidak hadirnya suami istri selama 10 tahun, dan diikuti dengan perkawinan baru.
Alasan putusnya perkawinan:
· Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, penjudi yang sukar untuk disembuhkan.
· Salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau diluar kemampuannya.
· Salah satu pihak cacat badan atau penyakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri.
· Dan lain sebagainya.
Akibat putusnya perkawinan:
· Baik suami istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya.
· Bapak bertanggung jaawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.
· Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada istrinya.
C. Harta Benda Dalam Perkawinan
· Harta benda yang dipearoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
· Harta bawaan masing-masing dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah perkawinan dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain.
· Bila perkawinan putus maka pembagian harta benda berdasarkan hukum masing-masing.
HAK DAN KEWAJIBAN DALAM HUKUM KELUARGA
Berikut ini adalah hak dan kewajiban pasangan suami istri yang baik:
A. Kewajiban Suami
- Memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan.
- Membantu peran istri dalam mengurus anak.
- Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga.
- Siaga/siap antar jaga ketika istri sedang mengandung hamil.
- Menyelesaikan masalah dengan bijak dan tidak sewenang-wenang.
- Member kebebasan berfikir dan bertindak pada istri sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.
B. Hak Suami
- Isteri melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai ajaran agama seperti mendidik anak, menjalankan urusan rumah tangga, dan sebagainya.
- Mendapatkan pelayanan lahir batin dari istri.
- Menjadi kepala keluarga memimpin keluarga.
C. Kewajiban Isteri
- Mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung jawab.
- Menghormati serta mentaati suami dalam batas wajar.
- Menjaga kehormatan keluarga.
- Menjaga dan mengatur pemberian suami( nafkah suami )untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
- Mengatur dan mengurusi rumah tangga keluarga demi kesejahteraan dan kebahagian keluarga.
D. Hak Isteri
- Mendapatkan nafkah batin dan nafkah lahir dari suami.
- Menerima maskawin dari suami ketika menikah.
- Diperlakukan secara manusiawi dan baik oleh suami tanpa kekerasan dalam rumah tangga/KDRT.
E. Kewajiban Suami dan Isteri
- Saling mencintai, menghormati, setia dan saling bantu lahir dan batin satu sama lain.
- Memiliki tempat tinggal ang tetap yang ditentukan kedua belah pihak.
- Menegakkan rumah tangga.
- Melakukan musyawarah dalam menyelesaikan problem rumah tangga tanpa emosi.
- Menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dengan ikhlas.
- Menghormati keluarga dari kedua belah pihak baik yang tua maupun yang muda.
- Saling setia dan pengertian.
- Tidak meyebarkan rahasia/aib keluarga.
F. Hak Suami dan Isteri
- Mendapatkan kedudukan hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam keluarga dan masyarakat.
- Berhak melakukan perbuatan hukum.
- Berhak diakui sebagai suamu isteri dan telah menikah dengan sah sesuai hukum yang berlaku.
- Berhak memiliki keturunan langsung anak kandung dari hubungan suami istri.
- Berhak membentuk keluarga dan mengurus kartu keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keluarga adalah kesatuan masyarat kecil yang terdiri dari suami istri dan anak yang berdiam dalam suatu rumah tangga.
2. Kekeluargaan ada dua kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
3. Ruang lingkup hukum keluarga
a. Perkawinan
b. Putusnya perkawinan
c. Harta benda dalam perkawinan
4. Syarat perkawinan : syarat materiil dan syarat formil.
B. Saran Dan Kritik
Kesan sebagai hamba-hamba yang penuh dengan kekurangan salah dan dosa akan tetap ada pada diri masing-masing individu. Baik tindakan atau perbuatan terlebih sebuah karangan. Oleh karenanya kritik dan saran merupakan motovasi terhebat sebagai landasan menuju sebuah kemajuan yang lebih baik karena kesempurnaan tidak akan bisa kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Kansil C. S. T. S. H. 1984, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum Indonesia. PN. BALAI PUSTAKA. JAKARTA

Like Page Ini Yaaahhh